'/> Bolehkah Membayar / Mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang? -->

Info Populer 2022

Bolehkah Membayar / Mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang?

Bolehkah Membayar / Mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang?
Bolehkah Membayar / Mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang?
Bolehkah Membayar / Mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang? Atau harus dengan materi makanan menyerupai beras?

Para Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mempunyai pendapat bahwa tidak diperbolehkan membayar atau menyalurkan zakat fitrah (zakat fitri) dengan uang yang jumlahnya seskor dengan zakat yang harus dikeluarkan. Hal ini didasarkan alasannya yakni tidak ada satu pun bukti yang menyatakan dibolehkannya hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah beropini bolehnya zakat fitrah diganti dengan uang.

 Atau harus dengan materi makanan menyerupai beras Bolehkah Membayar / Mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang?

Pendapat yang sempurna dalam problem ini yakni tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat lebih banyak didominasi ulama.

Abu Daud berkata :

قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي دَرَاهِمَ – يَعْنِي فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ – قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

Yang artinya : “Imam Ahmad ditanya dan saya pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah saya menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir menyerupai itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,

لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ

“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”

Dalam dongeng lainnya masih dari Imam Ahmad,

قِيلَ لَهُ : قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum menyampaikan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka menyampaikan bahwa si fulan telah menyampaikan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …).” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak anutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Fatwa Saudi Arabia), memdiberikan penjelasan:

“Telah kita ketahui bahwa kadab pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu dia shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, alasannya yakni dihentikan bagi dia shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan klarifikasi padahal sedang dibutuhkan. Seandainya dia shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sobat –radhiyallahu ‘anhum– akan menukil diberita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sobat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sobat yakni insan yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).
Advertisement

Iklan Sidebar